Fun Theory
Jawa Pos 28 Februari 2011 - Reinhald Kasali
Di stasiun kereta api bawah tanah di Stockhlom – Swedia, sejumlah ahli berembug, mempertanyakan: Mengapa orang lebih senang menaiki eskalator ketimbang tangga? "Bukankah naik tangga lebih sehat?,” Ujar seorang dokter.
Mereka memasang tulisan seperti ini. “Gunakan tangga, selamatkan jantung.” Atau, “naik tangga itu sehat.” Tetapi sebagian besar tak memperdulikannya. Mayoritas manusia larut dalam hening, tegak di atas eskalator. Konsekuensinya mesin itu cepat rusak. Biaya perawatan tinggi.
Para ahli diberi pertanyaan oleh Walikota. “Bisakah memindahkan orang-orang “malas” itu berjalan di atas tangga?” Mereka tertegun. Seminggu bolak-balik antara ruang rapat dengan stasiun subway. Hari ke tujuh dapat ide. Tukang stel piano dipanggil. Mereka sepakat mengubah tangga menjadi nada-nada piano seperti di toko mainan anak-anak.
Sepanjang malam mereka memasang nada musik itu, sehingga pagi harinya penumpang kereta api bisa merasakan surprise. Kamera CCTV dipasang di mulut tangga.
Pagi itu, dua orang pejalan kaki yang akan menaiki eskalator, berhenti sejenak saat mendengar nada-nada piano dari pijakan perempuan yang menuruni tangga. Mereka pun mencobanya. Lalu yang di belakang pun mengikuti kedua orang itu. Terlihat fun.
Bahkan saat sepi, beberapa orang dewasa melompat-lompat beberapa kali pada anak tangga yang sama. Terjawab sudah pertanyaan walikota. Sebanyak 66% penumpang kini menggunakan tangga. Eskalator jarang digunakan. Biaya perawatan turun.
Sekolah Fun
Fun Theory kini menjadi ikon baru dalam pamasaran apa saja. Dimulai dari hal-hal yang selama ini dikenal tidak fun, seperti sekolah, upacara kematian, dan ibadah-ibadah keagamaan, membaca buku, sampai membayar pajak.
Sekarang saya jadi bertanya-tanya apa sebab banyak anak sekolah kesurupan menjelang Ujian Nasional? Coba perhatikan suasana yang mereka hadapi. Seragam para guru lebih mencerminkan tradisi feodalisme, sebagai aparatur negara. Entah mengapa pula 90% wajah guru terlalu serius. Senyumnya tipis.
Tak ada musik pelipur lara saat istirahat. Dinding kelas dicat putih seperti interior rumah sakit tahun 1970-an. Lebih banyak hukuman daripada apresiasi sehingga ruang guru adalah beranda yang paling sepi.
Sudah begitu, guru-guru yang mempersiapkan siswa menghadapi ujian nasional lebih menakut-nakuti. Berita-berita tentang ujian nasional di televisi juga berisi ancaman: Siswa gantung diri, menangis tak lulus, berdemo karena gagal, menyontek atau membeli soal ujian dan seterusnya.
Lengkaplah sudah: Serius, susah, depresi, tegang!
Pak Menteri harusnya mengajukan pertanyaan ini kepada para ahli: Bisakah ujian nasional diselenggarakan tanpa beban? Hal serupa juga perlu ditanyakan dinas-dinas kebersihan, bisakah membuat tong-tong sampah terisi penuh? Pertanyaan ini penting karena masyarakat lebih senang membuang sampah di sekelilingnya.
Teori yang dulu dikenal sebagian momok yang serius, membosankan, sulit dan membuat kepala kita pusing sekarang telah kawin dengan fun. Di Program Megister Manajemen Universitas Indonesia yang saya pimpin, dosen yang pintar saja pasti tidak diterima. Kalau wajahnya lebih tua dari usianya, kumuh, jarang tersenyum, kata-katanya kasar – sudah pasti tidak akan diberi tugas mengajar. Inilah fun economy.
Ayo buat suasana lebih menyenangkan. Perubahan hanya bisa terjadi kalau objek yang diajak berubah merasakan perubahan itu fun. Jangan-jangan birokrasi, pemberantasan korupsi, rumah ibadah dan lembaga-lembaga penegak hukum telah berubah menjadi serious theory. Ayo kita perbaharui hidup ini.
Komentar
Posting Komentar