Dua anak muda di balik restorasi film bersejarah

BBC Indonesia |1 Juli 2012 - 01:13 WIB | 


"Menemukan sahabat-sahabat yang concer-nya sama, nekad-nya juga sama, dan punya energi yang sama besarnya...Nah, kalau ini dikumpulin jadinya energinya nggak habis-habisnya kan,"


Lisabona dan Lintang (duduk) terlibat proses restorasi film Indonesia bersejarah. 

Dua anak muda pencinta film, Lisabona Rahman dan Lintang Gitomartoyo, terlibat proses restorasi film bersejarah Lewat Djam Malam (1954) karya Usmar Ismail. Restorasi atau penyelamatan film yang memenangkan Festival Film Indonesia 1955 ini merupakan proyek ambisius yang melibatkan beberapa lembaga internasional.

Film Lewat Djam Malam -- yang dibintangi AN Alcaff dan Netty Herawati -- juga merupakan film Indonesia pertama yang direstorasi secara penuh. Dan hasilnya, film yang semula kondisinya memprihatinkan, alias rusak, kini pulih seperti sediakala, setelah direstorasi di laboratorium film di Italia -- yang memakan waktu sekitar dua tahun, dan memakan biaya sekitar Rp1,5 miliar. Film yang merupakan karya terbaik sutradara Usmar Ismail ini kemudian ditayangkan sebagai film pembuka Cannes Classic, dalam Festival Film Cannes di Prancis, bulan Mei lalu.



Melalui proses yang panjang dan rumit, Lisabona Rahman (kelahiran 1976) dan Lintang Gitomartoyo (kelahiran 1981) ikut berperan di balik proses restorasi film itu, bersama pengamat film dan penulis Katalog Film Indonesia, JB Kristanto, serta Direktur Artistik National Museum of Singapore, Philip Ceah. Keempat orang yang aktif di dunia film Indonesia itu, kemudian menjalin kerjasama dengan keluarga Usmar Ismail dan berbagai lembaga film internasional, seperti L'Immagine Ritrovata, serta World Cinema Foundation. Barangkali tanpa kecintaan, dedikasi serta kepedulian mereka, mustahil kerjasama restorasi film yang merupakan harta karun masa lalu Indonesia itu dapat terselenggara.

 

Momen bersejarah

Tetapi, apa pentingnya proyek penyelamatan film bersejarah ini bagi upaya penyelamatan arsip film Indonesia lama yang kondisinya kini sangat memprihatinkan? Inilah pertanyaan pertama yang saya ajukan kepada Lisabona Rahman dan Lintang Gitomartoyo, Rabu (13/06) lalu di kantor Yayasan Konfiden, di kawasan Cipete, Jakarta Selatan.



Proses digital digunakan untuk menyingkirkan efek jamur, kotoran, atau goresan.

"Proses restorasi ini, kalau buat sejarah film indonesia, momen pentinglah, bersejarah, karena sebelumnya film kita belum pernah direstorasi sedetil ini," kata Lisabona Rahman kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan.

Lisabona, yang pernah menjabat sebagai manajer program Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, dan kini sedang studi S2 tentang preservasi film di University of Amsterdam, Belanda, mengaku terpanggil untuk memperbaiki beberapa film lama Indonesia milik Sinamatek Indonesia, yang kondisinya sebagian telah rusak parah. Sinematek Indonesia, yang didirikan oleh orang-orang film seperti Misbach Jusa Biran dan SM Ardan pada 1975, mengoleksi sekitar 14% dari sekitar 3.000 film Indonesia yang diproduksi sejak 1926 hingga 2012.
"

"Kita akan kehilangan 60 persen sejarah kita sekarang, (dan) adik-adik dan anak-anak kita seratus tahun yang akan datang nggak akan tahu pengalaman kita sekarang seperti apa, kalau kita nggak simpan (dan merawat film-film lama Indonesia)." Lisabona Rahman
Akibat keterbatasan dana, sebagian koleksi film-film Indonesia milik Sinematek Indonesia (SI) kemudian tak terurus dengan baik -- dan akhirnya berujung pada kerusakan parah. "Kalau pun bisa kita tonton, kondisinya jauh lebih buruk daripada waktu film itu dibuat pertama kali," ungkapnya, agak getir.
"Betapa irinya kami pada orang-orang yang menontonnya di masa lalu dengan gambar yang mulus dan suara yang merdu". Tapi Lisabona, Lintang dan kawan-kawannya, rupanya, tak berhenti pada sebatas mengeluh. ("Kondisi menyedihkan SI dan koleksi film klasik Indonesia bisa diubah, meski ini bukan pekerjaan mudah dan cepat," tulisnya dalam buku Lewat Djam Malam Diselamatkan, 2012).

Sarjana jurusan Hubungan Internasional, Fisip, Universitas Indonesia (2002) ini mengaku berulangkali berusaha mengupayakan upaya restorasi sejumlah film klasik yang rusak, tetapi tidak mudah karena terkendala dana. "Sampai akhirnya ada kesempatan merestorasi (film) Lewat Djam Malam (berikutnya disingkat LDM) ini," tandasnya seraya menambahkan, dukungan internasional sangat penting untuk menyelamatkan koleksi SI. Diakuinya, kerja restorasi film ini adalah langkah pertama yang harus disusul langkah-langkah selanjutnya. Dan karenanya, Lisa mengaku tidak mau tinggal diam. "Kami punya hak dan ingin ikut bangga serta merawat harta warisan budaya kami," tulisnya.

 

Mengapa harus dirawat?

Dalam bahasa sederhana, apa pentingnya mengarsip, menyimpan, serta merawat secara seksama film-film klasik Indonesia? Lisabona mengawali jawabannya secara filosofis betapa pentingnya merawat film-film lama Indonesia yang mulai diciptakan sejak 1926. "Dari masa itu sampai sekarang, kalau kita mau hitung, konsumsi kebudayaan manusia modern itu barangkali lebih dari 60 persennya, isinya moving image," katanya, mulai menganalisa.



Kondisi arsip film-film lama di Sinematek memprihatinkan, yang ditandai kerusakan sejumlah film koleksinya.Apabila peninggalan harta budaya ini tidak dirawat, dia khawatir semuanya akan sirna.
"Kalau kita bayangkan 100 tahun mulai sekarang, kita nggak simpan, barangkali kita akan kehilangan pengetahuan sosiologis... Kita nggak akan tahu orang-orang seratus tahun yang lalu, kebudayaannya kayak apa," tambahnya. Dia kemudian membandingkan pentingnya mengarsip film lama dengan aktivitas orang-orang yang berkunjung ke musium sejarah.

"Kita lihat prasasti, kita jadi tahu cara orang menulis orang (zaman) dulu di batu. Ya, ini sama dengan cara orang mendokumentasikan sesuatu pada awal abad 20 yaitu dengan membuat film," jelas Lisabona.
"Kita akan kehilangan 60 persen sejarah kita sekarang, (dan) adik-adik dan anak-anak kita seratus tahun yang akan datang nggak akan tahu pengalaman kita sekarang seperti apa, kalau kita nggak simpan (dan merawat film-film lama Indonesia)," paparnya, serius.

 

'Seperti kejatuhan duren'

"Bisa dibilang semuanya kebetulan," begitulah kalimat yang pertama meluncur dari mulut Lintang Gitomartoyo, manajer program filmindonesia.or.id dan salah-seorang pimpinan di Yayasan Konfiden, ketika saya menanyakan kronologi restorasi filem tersebut.

"Jadi, walaupun kami sudah berpikir restorasi (film-film klasik Indonesia), dan sudah berusaha sejak lima tahun, tapi ini sepertinya kayak duren jatuh (ketika berhasil melibatkan dunia internasional, termasuk pendanaannya, dalam proyek film karya Usmar Ismail ini)," ujar Lintang yang, seperti Lisabona, mengaku tidak pernah studi formal di bidang perfilman.



Kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Lisabona dan Lintang mengaku persahabatan merupakan pintu masuk dalam proses restorasi film 'Lewat Djam Malam'. ("Kami tersesat di jalan yang benar..." celetuk Lintang dan Lisa setengah berkelakar di akhir wawancara, tentang aktivitas mereka di dunia film).

Diawali kontak antara National Museum of Singapore (NMS) dengan JB Kristanto, pengamat film dan penulis Katalog Film Indonesia, serta Lisabona, pada Januari 2010, tentang rencana penerbitan buku Katalog Film Indonesia dalam bahasa Inggris, muncul ide pemutaran film Indonesia yang pernah direstorasi. Rencananya, saat buku itu diterbitkan sekalian akan diputar film klasik Indonesia yang telah direstorasi tersebut. "Yang nggak mungkin dilewatkan kesempatan ini," ujar Lintang, berbinar. Lintang dan Lisabona sejak awal terlibat dalam pembuatan Katalog Film Indonesia tersebut.

Tetapi apakah betul proyek ini dapat terselenggara hanya karena 'kebetulan'? Saya bertanya lagi.
"Kata kuncinya adalah persahabatan," kata Lintang dan Lisa, hampir bersamaan, membuka rahasianya
Mereka kemudian mengaku mulai membuka jalur persahabatan dengan National Museum of Singapore sejak enam tahun silam (2006), yang jalurnya lebih dulu dirintis oleh JB Kristanto, kritikus film senior Indonesia.

 

Diputar di Festival Film Cannes

Setelah melalui diskusi dan konsultasi, terpilihlah LDM sebagai judul film yang akan direstorasi.
"Jawabannya cuma satu (yaitu) LDM, karena dianggap sebagai film terbaik Indonesia sepanjang masa," ungkap alumni Fakultas Sastra UI, jurusan Sastra Inggris ini.
"Saya pun terlibat, karena butuh orang yang in charge juga untuk proyek restorasi ini, menghubungkan Sinematek dengan pihak NMS. Ya, logistiklah," ungkapnya.



Film 'Lewat Djam Malam' (1954) ditayangkan dalam Festival Film Cannes, Prancis, sebagai film pembuka film-filem klasik.
Setelah disepakati film LDM yang akan direstorasi, para pihak yang terlibat kemudian mengontak L'Immagine Ritrovata, laboratorium di Bologna, Italia, yang khusus mengerjakan restorasi film.
Melalui proses panjang, yang terkadang rumit, upaya proses restorasi ini akhirnya melibatkan pula World Cinema Foundation (WCF), sebuah lembaga yang didirikan Martin Scorseses pada 2007.
WCF merupakan lembaga yang bergerak dalam pemeliharaan, pelestarian, dan pengarsipan film-film Amerika Serikat.
"Ternyata sembari jalan, banyak sekali pengalaman baru, yang sangat membuka mata dan membuka banyak kemungkinan. Apalagi bergabungnya World Cinema Foundation, yang menjelang akhir proses," ungkap Lintang, yang sudah lama berkecimpung di dunia film pendek dan dokumenter.
"Dan bergabungnya mereka (WCF) menimbulkan banyak kesempatan kita semua untuk merawat sejarah kita sendiri," katanya.
Puncaknya adalah ketika film LDM hasil restorasi itu akhirnya diputar pada pembuka Cannes Classics, di Festival Film Cannes ke-65 di Prancis, pada Mei 2012 lalu.

 

Film terbaik

Namun apa yang melatari pemilihan film Lewat Djam Malam untuk direstorasi?
JB Kristanto, penulis kritik film senior dan penulis buku Katalog Film Indonesia, adalah pihak pertama yang mengatakan film itu layak direstorasi.
Dalam wawancara dengan BBC Indonesia secara terpisah, JB Kristanto mengatakan, LDM merupakan film terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.


Salah-satu adegan film 'Lewat Djam Malam' (1954) yang dibintangi AN Alcaff.

"Kita pernah mencapai pencapaian yang sangat tinggi di masa lalu, yang menurut saya belum tercapai lagi sampai sekarang," kata JB Kristanto, yang setelah pensiun sebagai wartawan Kompas, kini menjadi editor filmindonesia.or.id.
Film yang lokasi pembuatannya antara lain di Bandung ini, menurutnya, juga merupakan dokumen sejarah. "(Karena) dia menggambarkan masyarakat kita di jaman itu yaitu persoalan masyarakat kita pasca revolusi yang (masih) berulang sampai sekarang".
Dalam Festival Film Indonesia 1955, LDM yang merupakan salah-satu karya puncak Usmar Ismail ini meraih predikat sebagai film terbaik.
"Dan dari segi estetik ini, (film LDM) juga mencapai posisi tertinggi dalam sejarah film Indonesia," tambahnya.
"Dan dari segi estetik ini, (film LDM) juga mencapai posisi tertinggi dalam sejarah film Indonesia."
JB Kristanto, penulis kritik film senior dan penulis buku Katalog Film Indonesia.
Dalam sinopsis LDM disebutkan, karya terbaik Usmar Ismail ini merupakan kritik sosial yang tajam mengenai bekas pejuang bernama Iskandar (yang diperankan AN Alcaff). Setelah perang usai, dia berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru.
Tetapi Iskandar muak dan kecewa dengan lingkungan baru. Apalagi dia bertemu kawannya di masa perjuangan, yang menjadi kaya, tetapi ternyata seorang koruptor.
Hanya melalui pacarnya, Norma (diperankan Netty Herawati), Iskandar yang idealis mengaku bisa dipahami sepenuhnya.

 

Sebelum dan sesudah direstorasi

Penasaran ingin mengetahui seperti apa film LDM sebelum dan sesudah direstorasi, saya pun akhirnya mengajukan pertanyaan ini kepada Lintang dan Lisabona, yang pernah mengawasi pada masa awal proses restorasi di Bologna, Italia.


Potongan film 'Lewat Djam Malam' sebelum direstorasi.

"Yang paling jelas perbedaan (sebelum dan sesudah direstorasi) itu suara. Versi yang rusak banyak kalimat yang nggak bisa terdengar, karena suaranya kresek-kresek, meski volumenya pol (tinggi), nggak kedengeran," ungkap Lintang yang terlibat dalam proses pembuatan subtitle film tersebut.
Dia kemudian memberikan contoh: "Proses subtitle-nya harus sampai diulang, karena ternyata banyak sekali (suara percakapan dalam film) yang salah tangkap, karena kondisinya rusak".


Potongan film 'Lewat Djam Malam' setelah direstorasi.

Seperti dikatakan Davide Pozzi, direktur laboratorium restorasi film L'Immagine Ritrovata, Bologna, Italia, merestorasi film LDM merupakan pekerjaan rumit, karena kondisinya yang rusak.
"Elemen-elemen film ini mengalami beberapa goresan, jamur dan jejak-jejak kelembaban... terjadi penyusutan pita, dan pembusukan...," tulis Pozzi dalam buku Lewat Djam Malam Diselamatkan.
Sebuah laporan menyebutkan, karena termasuk pekerjaan rumit dan pelik, Pozzi dan rekan-rekannya memerlukan sekitar tujuh setengah bulan untuk membersihkan secara digital.
"Ini disebut sangat lama untuk menangani satu film," kata Pozzi kepada Majalah Tempo, edisi 3 Juni 2012.
"Elemen-elemen film ini mengalami beberapa goresan, jamur dan jejak-jejak kelembaban... terjadi penyusutan pita, dan pembusukan..."
Davide Pozzi, direktur laboratorium restorasi film L'Immagine Ritrovata, Bologna, Italia.
Karena elemen-elemen film asli rusak, maka sebelum dipindai ke format digital, serangkaian perbaikan manual pun dilakukan -- termasuk memperbaiki sambungan dan retakan seluloid.
Melalui perangkat digital, para teknisi kemudian menyingkirkan efek-efek jamur, kotoran, serta goresan.
Di sini koreksi warna juga dilakukan agar saturasi dan kedalaman optik antara warna hitam dan putih sesuai karakteristik gambar yang asli.
"Kalau nanti lihat gambar sebelum direstorasi, yang kondisi seluloidnya robek, itu bisa kembali seperti seharusnya," kata Lintang.
Tetapi, seperti diakui Lintang, yang paling membedakan sebelum dan sesudah restorasi adalah kualitas suaranya.
"Begitu jernih dan semuanya jelas. Apalagi di film itu ada dua lagu 'Rasa Sangaye' dan 'Potong Bebek Angsa'," ungkapnya.

 

Sahabat Sinematek

Sebagai orang-orang yang begitu mencintai dunia film dan terjun total dalam upaya menyelamatkan film-film lama Indonesia, bagaimana Anda menjaga energi Anda? Tanya saya.
Lisabona mengaku, energi itu bisa terjaga baik kalau itu dikerjakan secara bersama oleh orang-orang yang punya visi sama.
"Menemukan sahabat-sahabat yang concer-nya sama, nekad-nya juga sama, dan punya energi yang sama besarnya...Nah, kalau ini dikumpulin jadinya energinya nggak habis-habisnya kan," katanya menjelaskan.


Lisabona dan Lintang bersama rekan-rekannya di Yayasan Konfiden.

Dia kemudian mencontohkan: "Kalau saya, misalnya, energinya (sedang) turun, stamina turun, masih ada Lintang, Tika dan lain-lain... Buat saya ini kayak kumparan energi yang tadinya kecil, jadinya tambah besar, tambah besar".
Berangkat dari filosofi seperti itulah, Lintang, Lisabona dan teman-temannya membentuk perkumpulan orang-orang yang peduli terhadap nasib filem-film lama Indonesia, yang diberi nama Sahabat Sinematek.
"Rencananya akan begitu juga. Kita akan kumpulin energi yang banyak, mengundang semua warga negara
Indonesia yang ingin terlibat," kata Lintang.

 

Suka film

Dalam bagian akhir wawancara, Lisabona dan Lintang mengaku menggeluti dunia film karena berangkat dari hobi, meskipun mereka tidak punya latar studi resmi tentang film.
"Kami orang-orang yang beruntung ya bisa ngerjain sesuatu yang sebenarnya adalah hobi kita," ungkap Lisa.


Lisa dan Lintang mengaku menggeluti dunia film karena dilatari hobi.

Menurutnya, situasi seperti itu dialami pula orang-orang seperti Usmar Ismail -- yang kelak dikenal figur penting dalam sejarah perfilman Indonesia.
"Bahkan Usmar Ismail, yang membuat LDM, bukan orang film. Mereka orang-orang drama dan sastra, yang pada akhirnya karena suka film, lalu bikin film," paparnya.
Lisa sendiri menyebut dirinya masuk dalam kategori seperti itu. "Kita termasuk mania-mania itu," tandasnya, serius.
Kalau Anda berdua diberi hak untuk mengulang waktu, apakah menyesal mendalami dunia film? Ini pertanyaan akhir saya, ketika langit di luar kantor mereka berubah semakin gelap.
Dengan mimik serius, Lisabona berkata: "Saya menyesal kenapa baru sekarang (terjun ke dunia film). Kalau bisa balik lagi, saya cuma mau lebih cepat saja, tapi saya nggak akan bakal pindah (ke jalur lain)".
Sementara Lintang mengatakan, selama ini dia membagi waktunya antara menggeluti dunia film dan belajar secara otodidak segala sesuatu tentang ilmu perfilman.
Karena itulah, jika bisa mengulang waktu, Lintang ingin belajar secara tersendiri tentang ilmu perfilman. "Kemudian baru bekerja dengan menggunakan ilmu itu," katanya sekaligus menutup wawanacra yang berlangsung sekitar satu jam itu.

source: http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/06/120630_tokoh_lisabona_lintang.shtml

Komentar

Postingan Populer